Timnas U-17 Indonesia menutup pertandingan penyisihan Grup A Piala Dunia U-17 2023 dengan hasil yang kurang memuaskan. Garuda Muda kalah 1-3 dari Maroko di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, Kamis (16/11).
Tiga gol Maroko dicetak oleh Anas Alaoui pada menit 29 melalui eksekusi penalti, Abdelhamid Eit Boudlal (39’), dan Mohamed Hamony (64’). Sedangkan gol semata wayang Indonesia dari eksekusi tendangan bebas Nabil Asyura (42’).
Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, tetap mengirim apresiasi kepada para pemain timnas U-17 Indonesia yang telah berjuang di turnamen internasional tersebut. Sesuai rencana, para pemain itu disiapkan untuk Piala Dunia U-20 2025.
“Mereka sudah berbuat terbaik. Saya bilang ke mereka, kita harus tetap berdiri karena mereka adalah masa depan sepak bola Indonesia juga. Apalagi tahun 2025 ada kejuaraan (Piala Dunia) U-20 yang kita tentu ingin coba persiapkan tim dari sekarang,” kata Erick Thohir.
“Saya bilang dari tim U-17 ini mungkin ada lebih dari setengah potensi pemain timnas muda kita ke depan yang harus kita jaga, jangan sampai mereka dengan hasil hari ini mereka tidak berkembang. Mereka masih muda-muda, kita harus terus bina mereka untuk tentu program jangka panjang,” imbuhnya.
Indonesia nangkring di posisi ketiga Grup A dengan raihan dua poin hasil seri melawan Ekuador dan Panama. Peringkat Indonesia berada di bawah Maroko dan Ekuador.
Meski begitu, Erick Thohir mengaku senang dengan perkembangan permainan tim besutan Bima Sakti itu. “Sebenarnya ada peningkatan, kalau kita bandingkan uji coba pertama di Bali, lalu juga uji coba lainnya ada peningkatan. Tapi ya belum setara dengan Maroko yang (tim seniornya) ranking 13 dunia,” ujar Erick.
“Artinya memang grup ini grup yang tidak mudah dan kita merupakan tim ranking yang terbawah (di antara tim-tim di Grup A), kita bisa dua kali seri. Maunya sih dua kali seri dan sekali menang, tapi belum dikasih. Ya kita coba yang terbaik,” imbuhnya.
Selain itu, Direktur Teknik Safin Pati Sports School, Muhammad Hanafing Ibrahim memiliki keinginan agar perkembangan timnas U-17 Indonesia terus diperhatikan oleh PSSI. Ia mengatakan, setidaknya ada dua opsi yang harus diambil oleh PSSI untuk menjaga keberlanjutan perkembangan pemain U-17 setelah Piala Dunia U-17 2023.
Hanafing mengatakan, pilihan pertama yang bisa diambil ialah menitipkan pemain asuhan Bima Sakti untuk berlatih bersama klub-klub Liga 1. Syaratnya, klub tersebut harus punya model pembinaan usia muda yang dijalankan dengan serius.
“Mereka harus bisa melanjutkan pembinaan di akademi klub Liga 1. Namun, para pemain ini harus bergabung dengan akademi yang dijalankan dan dikelola dengan baik,” kata Hanafing.
Syarat yang disampaikan pelatih asal Ujungpandang ini bukan tanpa alasan. Sebab, sebagai salah satu orang yang bertugas mengulas proses verifikasi AFC Club Licensing, Hanafing mendapatkan gambaran soal klub-klub yang memang serius menjalankan model pembinaan pemain usia dini.
Berdasarkan penilaiannya terhadap aspek sporting, hanya ada tujuh klub Liga 1 yang layak dan memenuhi syarat untuk mendapatkan lisensi klub profesional. Aspek ini memang berkaitan dengan ketersedian sarana dan prasarana yang digunakan untuk pembinaan pemain usia muda.
“Jadi setelah mereka selesai di Piala Dunia U-17 2023, para pemain ini harus dititipkan kepada klub-klub Liga 1 yang punya akademi yang dikelola dengan baik. Sehingga lebih muda dipantau selama menjalani proses pembinaan,” kata pemain yang ikut membawa timnas Indonesia meraih medali emas SEA Games 1991 itu.
“Untuk mendapatkan lisensi klub AFC, mereka harus punya akademi, lapangan latihan khusus untuk akademi, punya pelatih yang berlisensi, hingga direktur akademi,” ujarnya menambahkan.
Sementara itu, opsi kedua ialah membuat program jangka panjang seperti ketika era PSSI berada di bawah kepemimpinan Kardono. Hanafing mengatakan, program pembinaan jangka panjang ini sudah dilakukan oleh beberapa negara tetangga, mulai dari Vietnam, Malaysia, hingga Jepang.
“Jadi setelah Piala Dunia U-17 2023, anak-anak ini jangan dibiarkan untuk kembali ke klubnya masing-masing. Kalau klubnya bagus seperti akademi Persib Bandung, ya tidak masalah. Namun, kalau klubnya tidak berkualitas, nanti jadi persoalan,” ujarnya.
“Salah satu contohnya ialah timnas Indonesia U-19 era Evan Dimas. Setelah juara Piala AFF U-19 2013, mereka terpecah-pecah. Ada yang bermain di Liga 3, itu pasti turun performanya. Sebab, model kompetisinya sangat instan,” ujar dia.
Oleh karena itu, pria yang juga berstatus sebagai Instruktur Pelatih PSSI ini berharap, para pemain timnas U-17 Indonesia bisa melanjutkan program pembinaan dengan sistem yang lebih tertata.
“Kalau kita berbicara soal youth development, itu berbicara soal pembinaan jangka panjang. Top performa pemain itu ada di usia 19 hingga 20 pemain. Di situlah mereka mendapatkan semua pengetahuan soal sepak bola,” ujar mantan Direktur Teknik EPA Persebaya Surabaya itu.
“Jika bisa bergabung dengan akademi, mereka akan mendapatkan menit bermain. Berarti pengalamannya bertanding cukup. Minimal 30 match dalam satu tahun. Namun, sekali lagi, akademinya harus akademi yang betul-betul membina pemain dengan baik,” katanya.
View this post on Instagram