Pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya meninggalkan luka yang mendalam. Pertandingan tersebut menjadi salah satu pertandingan sepak bola paling mematikan di dunia setelah banyak meregang nyawa para supporter.
Salah satu jurnalis yang tengah berada di Stadion Kanjuruhan, Aditya Wahyu, menceritakan kala dirinya berada di situasi yang sangat menakutkan. Seperti diketahui, Stadion Kanjuruhan menjadi tempat para Aremania atau Aremanita meregang nyawa di dalam stadion.
Hal tersebut terjadi setelah para supporter tumpah ruah ke dalam lapangan. Polisi yang kesulitan menenangkan massa akhirnya menggunakan gas air mata.
Namun, bukannya membuat massa tenang, justru para supporter terlihat panik sampai banyak yang terjatuh dan terinjak-injak. Akibat hal tersebut, banyak supporter yang meregang nyawa akibat kehabisan nafas setelah berusaha untuk menyelamatkan diri.
Tak tanggung-tanggung, angka supporter yang meregang nyawa sampai di angka 150 orang lebih. Usut punya usut, menurut peraturan FIFA, pihak berwajib justru dilarang menembakan gas air mata.
Dalam pasal 19 tentang “Pitchside Steward”, pihak berwajib bukan hanya dilarang menembakan gas air mata untuk menenangkan masa, tetapi juga dilarang membawa barang tersebut. Benar saja, akibat gas air mata, korban jiwa banyak berjatuhan.
Menurut Aditya Wahyu, kondisi di dalam stadion awalnya tenang-tenang saja. Namun saat memasuki 20-25 menit kemudian, ketika polisi menembakan gas air mata, keadaan mulai chaos.
Bahkan pelatih Persebaya Surabaya, Aji Santoso dijemput paksa untuk segera dipulangkan karena massa sudah mulai kehilangan kendali.
“Kalau situasi selepas pertandingan masih aman-aman saja. Saya sendiri saat itu ke ruang media karena mengejar coach aji di ruang presscon, tetapi tidak bertemu dengan coach aji karena dipanggil keamanan untuk segera masuk ke Rantis.
“Nah, di situ teman-teman media baru turun saat gas air mata ditembakan. Hal tersebut terjadi selang 20-25 menit selepas peluit dibunyikan,” jelasnya.
Atas nama kemanusiaan, para awak media yang bertugas saat itu mulai meninggalkan tugasnya ketika para korban sudah memenuhi lorong sampai setiap ruangan yang ada di Stadion Kanjuruhan.
Para penonton yang mencoba diselamatkan, akhirnya banyak yang meninggal saat proses penyelamatan berjalan. Kebanyakan para korban meninggal setelah kehabisan nafas karena berdesakan dan jatuh pingsan.
Setelah terjatuh, para korban banyak yang terinjak. Terlebih gerbang stadion yang menjadi jalan keluar para penonton, dikunci dan membuat para penonton tak bisa keluar.
Keadaan tersebut semakin memperparah dan membuat massa semakin panik.
“Ruang media itu sebelahan sama tempat evakuasi korban, jadi kita tahu jelas kalau korban itu mulai berdatangan.
“Awalnya kita masih sibuk kerjaan masing-masing, namun saat korban makin banyak, dan sudah mulai membiru mukanya baru teman-teman mulai mencoba membantu karena sudah merasa kelewatan,” ungkapnya.
Akibat terlalu banyak korban jiwa, Aditya Wahyu merasa stadion sudah seperti kuburan massal karena terlalu banyak korban yang bergeletakan di lantai stadion.
“Banyak yang akhirnya tidak terselamatkan. Jadi saat di lorong itu rasanya seperti kuburan massal karena banyak banget yang di lantai,” tutupnya.