Tim sepak bola Burundi baru dibentuk pada tahun 1971 oleh Federasi Sepak Bola Burundi. Tim berjulukan The Swallows itu pertama kali tampil di kancah internasional pada tahun 1976.
Saat itu mereka menjalani pertandingan kualifikasi Piala Afrika 1976 melawan Somalia, yang berakhir dengan kemenangan 2-0. Hanya di leg kedua mereka harus kalah dengan skor 1-0.
Meski begitu timnas Burundi tetap dinyatakan lolos ke babak selanjutnya dan bertemu dengan Mesir. Sayang di pertandingan tersebut, timnas Burundi harus kalah dengan agregat 5-0 dan tersingkir dari ajang kualifikasi Piala Afrika.
Dalam perkembangannya timnas Burundi bermain dengan kurang baik. Dalam dua puluh tahun pertamanya sejak mereka berdiri, timnas Burundi sudah memainkan dua puluh pertandingan dan mencatatkan enam kali menang, dua kali seri, dan 12 kali kalah.
Setelah beberapa tahun sampai sekarang, timnas Burundi mengalami perkembangan yang cukup baik. Pada tahun 1993, Burundi pernah bertengger di peringkat ke 96 FIFA.
Catatan itu masih jadi yang tertinggi untuk Burundi sampai saat ini. Bahkan saat ini mulai banyak pemain Burundi yang berkarier di Eropa.
Sebut saja Saido Berahino yang pernah bermain di Liga Inggris bersama beberapa klub. Lalu ada Youssouf Ndayishimiye yang saat ini bermain bersama OGC Nice di Liga Perancis dan masih banyak lagi.
Kebanyakan dari mereka merupakan pemain yang sudah menetap di Eropa sejak kecil.
Bagi masyarakat Indonesia, belum banyak yang tahu Burundi. Maklum saja, negara tersebut merupakan negara kecil yang memang sepak bolanya saat ini.
Barulah lewat pemain yang saat ini berkarier di Eropa, Burundi tengah mempunyai misi memperkenalkan negaranya di kancah internasional, seperti yang dilakukannya saat ini di Indonesia.
Menurut kapten timnas Burundi, Saido Berahino pihaknya ingin memperkenalkan Burundi ke masyarakat luas.
“Burundi negara kecil. Saya lahir di sana, tapi saya meninggalkannya sejak masih sangat muda.
“Negara yang saling mencintai warganya, negara yang terus tumbuh, dan terutama secara ekonomi. Kami tetap mencipta negara ini” kata Saido Berahino beberapa waktu lalu.
Misi Saido Berahino oun terbilang sukses karena saat ini masyarakat Indonesia mulai mengenal Burundi.
PENCAPAIAN LUAR BIASA BURUNDI
Perkembangan timnas Burundi tampaknya tak bisa lepas dari tangan dingin pelatihnya pada tahun 2019 silam, Olivier Niyungeko. Pelatih berkebangsaan Burundi itu sukses membawa negaranya lolos ke Piala Afrika untuk pertama kalinya.
Tentu saja momen tersebut layaknya mimpi bagi mereka karena memang tidak banyak yang menyangka timnas Burundi bisa sampai ke titik tersebut.
Tim yang berjulukan Burung Walet itu dituntut untuk bisa melewati hadangan dari Nigeria, Guinea, dan Madagaskar saat babak penyisihan grup dimulai di Mesir.
Menurut gelandang timnas Burundi, Selemani Ndikumana seperti mimpi bisa membawa Burundi lolos ke Piala Afrika 2019.
“Itu adalah salah satu impian terbesar saya. Di masa lalu kami tidak memiliki tim yang cukup bagus.
Semua orang mengurus urusannya sendiri, jika digambarkan lebih seperti, kami memiliki tim, tetapi di lapangan itu seperti individu,” katanya.
“Itu sebabnya kami tidak pernah berhasil sejauh ini sebelumnya. Tim ini mendengarkan satu sama lain, berjuang untuk satu sama lain. Akhirnya kita sampai di sini. Saya tidak pernah menyerah dan tahu bahwa suatu hari, kami akan lolos,” sambungnya.
Sain itu gelandang Burundi lainnya, Gael Bigirimana, momen lolosnya Burundi ke Piala Afrika dapat menjadi sebuah pemersatu bangsa. Mengingat Burundi memiliki sejarah kelam soal perang saudara di sana.
“Kita bisa menjadi instrumen untuk menyatukan bangsa kita, untuk membuat mereka bangga,” katanya seperti dikutip JebreeeMedia dari ESPN.
“Kami tidak pernah mendapat inspirasi, begitu banyak anak di Burundi, tidak memiliki harapan, dan Anda harus memiliki harapan,” sambungnya.
Sayang di Piala Afrika 2019 lalu, Burundi harus menjadi tim yang berada di dasar klasemen grup C. Mereka kalah di tiga pertandingannya saat menghadapi Madagaskar (1-0), Nigeria (1-0) dan Guinea (0-2).
SELEMANI NDIKUMANA JADI SAKSI PERANG SAUDARA DI BURUNDI
Burundi tampaknya memiliki sejarah yang cukup kelam di dunia. Sebagai jajahan dari Belgia, mereka baru lepas dari penjajahan pada tahun 1962.
Semenjak itu pula mereka akhirnya mulai menjadi negara yang berdaulat di mata dunia. Meski begitu, label negara termiskin di dunia nampaknya belum lepas dari mereka.
Sebagian karena geografinya yang terkurung daratan, sistem hukum yang buruk, kurangnya kebebasan ekonomi, kurangnya akses ke pendidikan dan penyebaran HIV/AIDS. Sekitar 80% penduduk Burundi hidup dalam kemiskinan.
Akibat kemiskinan tersebut, akhirnya banyak warga Burundi yang memilih pergi dari negaranya dengan pergi ke negara lain. Keadaan Burundi pun semakin menjadi setelah pada tahun 1993 terjadi perang saudara antara suku Tutsi dan suku Hutu.
Salah satu yang menjadi saksi peperangan tersebut adalah pemain tertua timnas Burundi di Piala Afrika 2019 lalu, Selemani Ndikumana.
Saat perang terjadi, Selemani Ndikumana masih berusia enam tahun. Dirinya mengingat betul momen saat orang-orang berlarian untuk meninggalkan rumahnya masing-masing yang akhirnya tak pernah kembali lagi.
Keadaan semakin memanas di Burundi setelah Presiden Hutu, Melchior Ndadaye, dibunuh oleh tentara Tutsi. Kejadian itu pula yang memicu bencana perang saudara selama belasan tahun da menelan korban sekitar 300.000 jiwa.
Kejadian itu juga menggusur sebagian besar penduduk, yang sampai akhirnya banyak orang Burundi harus mengungsi ke tempat lain serta berpindah ke negara lain pula.
Mungkin awal mula banyaknya pemain Burundi di Eropa pun dimulai di saat momen tersebut terjadi.
Selemani Ndikumana menggambarkan hari-hari di Burundi sebagai “hari yang sangat, sangat, sangat buruk” dan menceritakan bagaimana ayahnya, yang saat itu tinggal di Tanzania, mengirim seseorang untuk segera membawa keluarganya ke negara tetangga Burundi, Republik Demokratik Kongo.
Pemain kelahiran 18 Maret 1987 itu mengatakan baru kembali ke Burundi selepas kakeknya memberitahukan kondisi terbaru dari negaranya.
“Kakek saya memberi tahu kami:’ Hei, kamu bisa kembali sekarang, tidak ada tembakan, hanya beberapa orang yang mencuri dari rumah, ‘” jelasnya.
Diketahui bahwa kakek dari Selemani Ndikumana merupakan seorang Tutsi yang pada akhirnya keluarganya tidak akan banyak diganggu oleh orang Tutsi.
“Kami tidak ingin kembali, tetapi pada saat itu orang-orang yang membuat masalah berasal dari kelompok yang sama dengan kakek saya sehingga mereka tidak dapat menyakitinya.
“Saya bisa kembali dan memulai hidup baru, tapi saya sangat takut. Pada siang hari baik-baik saja, tetapi kemudian, setelah sekitar pukul 5 sore, tembakan mulai lagi.
“Ketika saya pergi, ada tembakan sepanjang hari, setiap hari. Meski tidak 100% aman, tetapi orang-orang sudah mulai dapat bekerja dan pergi ke pasar. Itu tidak mudah,” kenangnya