Menjelang leg 1 semifinal Liga Champion di Santiago Bernabeu pada Selasa (9/5), perhatian tertuju kepada dua sosok pelatih yang lekat dengan kompetisi mewah di Eropa ini. Perbandingan tak terhindarkan.
Soal kemahiran membesut tim, kedua sosok dikenal sudah di level papan atas. Pembandingan yang dibuat Sky Sports mengenai kedua manajer hebat ini akan memunculkan perbedaan dalam hal di luar taktik.
Persamaan di antara mereka adalah mantan gelandang yang pernah memenangi trofi wahid Eropa ini sebagai pemain. Sebagai manajer, Pep dan Carletto juga bisa membawa timnya menjadi kampiun Liga Champion. Pep dua kali bersama Barcelona. Ancelotti meraih dua gelar saat menangani Milan dan dua bersama Madrid.
Guardiola kerap dikaitkan dengan Jurgen Klopp perihal rivalitas di Premier League. Saat masih di Barcelona, Pep dikenal bersaing sengit dengan Jose Mourinho. Namun, di Liga Champion, lawan yang sering ia temui, terutama di semifinal, adalah Ancelotti.
Rivalitas antara Guardiola dan Ancelotti melambangkan dua gaya melatih yang sangat berbeda. Sky Sports menyebut perbedaan itu lebih dari sekadar taktik. Perbedaannya lebih ke prinsip.
Guardiola disebut telah menginspirasi generasi muda pelatih. Pep bagai ideologi, yang dapat diajarkan, ditularkan, dan dirangkul.
Cara Ancelotti lebih sulit didefinisikan, meski pada awal masa kepelatihannya ia susah berubah. Saat melatih Parma, eks gelandang itu menampik kesempatan merekrut Roberto Baggio. Alasannya, ia terpaku kepada pakem 4-4-2 Arrigo Sacchi yang melatihnya di Milan. Kekeliruan, bila bisa disebut demikian, itu menjadi pelajaran berharga buat Carletto untuk pendekatan manajemen yang lebih luwes.
Ancelotti dikenal suka memberi tanggung jawab kepada para pemainnya. “Satu-satunya harapan saya adalah setiap pemain berkesempatan bekerja sama dengannya,” tutur Cristiano Ronaldo, salah satu mantan anak didik Carletto di Madrid. Ancelotti tidak pernah bermasalah dengan CR7. “Sebenarnya, ia yang menyelesaikan masalah untuk saya,” kata Ronaldo.
Pertanyaan mengenai pendekatan mana yang lebih baik, Guardiola atau Ancelotti, tidak akan mendapatkan jawaban yang pasti. Tidak ada yang benar atau salah.
Pertemuan pertama antara kedua pelatih di semifinal LC terjadi pada 2014. Madrid besutan Ancelotti yang lolos. Guardiola disebut dua kali merombak formasi Bayern, hingga sampai pada keputusan yang akan ia sesali. El Real menang 4-0 di Allianz Arena.
Akan tetapi, saat Ancelotti menukangi Bayern setelah Pep hengkang ke Manchester City, pendekatannya segera terlihat tidak klop. Para pemain Munchen tampak bingung. “Ia memercayai kami membuat keputusan sendiri di lapangan,” ucap kiper Manuel Neuer.
Konon para pemain senior FC Hollywood menggelar sesi latihan intensitas tinggi tanpa sepengetahuan Ancelotti. Mereka khawatir terlalu santai. Pendekatan minimalis Ancelotti tidak berterima di Munchen yang memiliki pemain yang meminati lebih banyak informasi.
Sebaliknya, pendekatan Guardiola micro-managing. “Pep Guardiola berfokus kepada detail dengan banyak analisis. Ia juga sangat emosional dan selalu mencoba mengatur dari tepi lapangan. Carlo Ancelotti sangat kalem di tepi lapangan,” tutur pemain Bayern lainnya, Joshua Kimmich.
Dengan kecenderungan gaya masing-masing, mungkin bukan kebetulan bila tim Guardiola lebih sukses di liga domestik. Dari 13 musim melatih, 10 di antaranya berakhir dengan tim yang ia racik menjadi juara liga.
Pola dan pergerakan bak metronom yang diinginkan Guardiola mantap untuk jangka waktu panjang. Timnya dapat memenangi lebih banyak laga daripada klub lain di liga.
Ancelotti berbeda. Ia memenangi Liga Champion sebagai manajer lebih sering daripada pelatih lain, tapi jarang bersanding dengan liga domestik. Kekecualian hadir musim lalu.
Ancelotti tidak bisa menyamai konsistensi Guardiola. Namun, dengan memercayai bakat dan mendorong para pemain untuk berpikir bagi dirinya sendiri, tim Ancelotti mampu menghasilkan semacam spontanitas, sesuatu yang sulit terlihat di kubu Pep.
Aturan di bawah Guardiola terdengar lebih kaku. Jack Grealish disebut tengah menjalani musim terbaiknya setelah musim perdana yang lesu kendati ditransfer mahal. Namun, eks pemain Aston Villa itu mengaku bisa lebih bebas berekspresi saat bermain di timnas Inggris daripada di City.
Di Madrid, di posisi yang sama dengan Grealish, Vinicius Junior, tidak merasakan pembatasan. Menurut penyerang asal Brasil itu, Ancelotti memberikan kepercayaan diri. Vini menjadi pemain paling menentukan di dunia, menurut Ancelotti.
Musim lalu, Ancelotti kembali sukses membawa Los Blancos menyingkirkan City dan Pep. Rodrygo tampil dari bangku cadangan untuk mencetak dua gol yang menentukan langkah Madrid ke final.
Akankah kecenderungan Ancelotti lebih tepat di Liga Champion ketimbang Guardiola akan terulang lagi di semifinal musim ini? Mari kita nantikan jawabannya.