Menghadapi Manchester City di final Liga Champion di Istanbul pada Sabtu (10/6) esok, Internazionale Milan memiliki senjata dalam Edin Dzeko. Senjata yang bukan rahasia karena sang striker adalah eks bintang City. Kematangannya selepas pergi dari City justru yang mesti diwaspadai eks klubnya tersebut.
Dzeko menjadi salah satu sorotan menjelang final nanti karena tautan kuatnya dengan Man. City.
Pengalamannya selama lima tahun berseragam biru muda City bisa berharga buat Inter. Kematangan yang diasah sang striker di Italia dapat membalas perlakuan City yang pernah menyia-nyiakannya.
Dzeko bergabung ke City pada Januari 2011. The Cityzens bersedia menggelontorkan 27 juta pound saat itu untuk mendatangkan penyerang asal Bosnia itu dari Wolfsburg.
Di Wolfsburg, Dzeko menorehkan 85 gol dari 142 penampilan. Kontribusi pemain berjulukan Permata Bosnia ini sangat besar saat membantu klub itu menjadi juara Bundesliga untuk pertama kali pada 2009.
Peran Dzeko terasa pada beberapa pencapaian awal City era kepemilikan konsorsium Abu Dhabi. Gol pertamanya hadir berupa gol pengujung laga saat Cityzens menghadapi Notts County di Piala FA. Gol itu menyelamatkan City dari kekalahan memalukan. Imbas gol itu sampai gelar di kompetisi itu yang merupakan trofi pertama City dalam 35 tahun.
Para fan Manchester Biru juga takkan lupa pada sebuah gol penting Dzeko. Saat City harus menang di pekan terakhir untuk memastikan gelar 2011/12, mereka tertinggal 1-2 dari tamunya, Queens Park Rangers. Dua menit memasuki injury time, Dzeko mencuat untuk menyundul masuk gol penyeimbang.
Beberapa menit kemudian, gol legendaris Kun Aguero hadir untuk gelar Premier League pertama Cityzens. Gol Dzeko tidak kalah krusial.
Dari 18 pemain City yang turun saat mengalahkan QPR itu, hanya Joe Hart, James Milner, dan Dzeko yang tampil di Liga Champion musim ini. Laga puncak nanti merupakan kali pertama buat pemain yang merupakan gelandang kreatif sebelum menjadi striker tajam ini.
“Ia merupakan seorang pemain kelas dunia. Mengenalnya selama 15 tahun, saya tidak kaget ia masih bisa bermain di level ini. Ia terlahir untuk bermain. Ia memiliki disiplin dan menjaga diri secara mengesankan. Ia memimpin lini depan secara sempurna,” tutur Asmir Begovic, kiper timnas Bosnia.
Kembali ke City, dalam lima musim di sana, Dzeko mencetak 72 gol. Ia berperan besar dalam dua gelar liga, sebuah Piala FA dan sebuah Piala Liga yang diraih Cityzens.
Pada 2016, Dzeko hengkang dari City untuk bergabung dengan Roma. Status awalnya adalah pinjaman, tapi klub ibu kota itu memberikan kontrak permanen buat sang striker. Musim penuh pertamanya di Italia berujung dengan 29 gol. Ia pun menjadi top-scorer Italia.
Pada 2021, Dzeko memilih pindah ke Inter. Setelah mengantar Nerazzurri menjuarai Coppa Italia musim ini, Dzeko mengincar pencapaian yang jauh lebih besar.
“Tampil di final Liga Champion, saya sudah 37 tahun. Ini kali pertama, dan, siapa tahu, yang terakhir. Saya jelas ingin menikmatinya. Laga ini penting bagi klub dan para pemain. Luar biasa bisa hadir di final,” ucap Dzeko kepada BT Sport seperti dikutip Eurosport.
Dzeko mengaku telah menonton banyak pertandingan City. “Mereka memiliki banyak pemain hebat, seorang manajer hebat, dan merupakan favorit. Mereka adalah tim yang diincar lawan di Eropa. Mereka telah menunjukkannya. Namun, kami tidak ada di sana hanya untuk menonton. Tak ada tim yang bisa tampil di final kalau tidak layak. Kami akan harus tampil lebih dari 100 persen,” lanjut Dzeko.
Walau tidak lagi capocannoniere, torehan golnya tergolong stabil selama bermusim-musim. Catatan itu mengesankan mengingat usianya. Gol krusial buat Inter hadir di leg 1 semifinal. Umpan sepak pojok Hakan Calhanoglu dari sayap kiri dapat dicecar Dzeko walau dikawal ketat oleh Davide Calabria.
View this post on Instagram
Penyelesaian pada menit kedelapan itu mendapat pujian. Kematangan berperan besar dalam situasi seperti itu. Dzeko mengakui permainannya lebih terjaga di Italia. Ceritanya akan berbeda bila ia tetap di Inggris.
“Premier League adalah liga yang berat karena banyak tempo yang perlu dimainkan. Italia berbeda, lebih taktis. Saya bisa berbicara lebih banyak soal sepak bola dari yang saya pelajari di Italia,” ujar pria kelahiran Sarajevo itu.
Kelebihan taktis itu salah satunya karena faktor pelatih. Menurut Dzeko, allenatore di Italia membuat persiapan yang sangat matang. “Mereka menunjuk ke segala arah, apa yang harus dilakukan. Kadang kala saya mendengar hal yang sepertinya normal, tapi tak pernah dengar sebelumnya,” ungkap Dzeko.
Maka, bagi Dzeko, delapan tahun di Italia telah membuatnya jauh lebih matang sebagai pemain. “Saya merasa gembira. Itu yang paling penting. Saya pikir saya masih dapat memberikan banyak hal untuk sepak bola di level ini, seperti di dua musim terakhir,” ucap pemain yang merintis karier dari klub Zeljeznicar itu.
Kontrak Dzeko di San Siro akan habis setelah laga puncak di Istanbul nanti. “Mari memikirkan final lebih dulu, kemudian soal masa depan,” pungkasnya.