Di saat mencoba mengingat peran terdahulu saya sebagai pengurus APPI dalam konferensi tingkat dunia FIFPRO, beberapa kali pula saya ikut berbicara memberikan laporan di hadapan perwakilan 60an anggotanya. Kesimpulan mereka? Sepakbola di Indonesia lebih banyak melaporkan tentang masalah federasi dan politik, daripada prestasi dan perkembangan kualitas sepakbolanya itu sendiri.
Laporan dalam beberapa kali kongres maupun konferensi yang saya ikuti di antaranya tentang dualisme liga, dualisme federasi, dualisme timnas, sampai dualisme asosiasi pemain. Ada juga isu gaji pemain yang tidak dibayar, hingga masalah paling kompleks ketika federasi kita di-banned oleh FIFA.
Akhirnya saya melangkah mundur tepat ketika momen sudah membaik lantaran federasi mengakui eksistensi APPI, NDRC dibentuk, dan sekarang sudah berjalan. Setelahnya saya lalu mencoba hidup lebih “tenang” dengan hanya melakoni siaran di televisi saja, supaya tidak terkena blacklist lagi.
Semakin ke sini saya semakin merasa bisa tersenyum lebar mendengar kabar bahwa sekarang para pesepakbola sudah lebih tenang dalam mendapatkan haknya. Paling tidak, sudah ada kepastian dalam penyelesaian sengketa. Di samping itu, industri sepakbola tampak mulai berjalan di track yg benar, artis-artis dan sultan-sultan muda mulai berani berinvestasi di jagat sepakbola nasional.
Di tengah kondisi membaik ini, tiba-tiba muncul bencana besar ketika ratusan orang meninggal dunia dalam tragedi di Kanjuruhan. Hati nurani saya seperti berontak dan tidak terima, dan dengan tekad bulat saya akhirnya memilih mundur dari dunia siaran sepakbola Liga1.
Dampak dari bencana Kanjuruhan itu sendiri, Liga 1 sempet terhenti. Liga 2 dan Liga 3 malah dihentikan secara permanen. Menyusul setelahnya ada Kongres Luar Biasa yang berujung pada pergantian Ketum PSSI.
Belum genap sebulan berlalu, sepakbola nasional sudah kembali gaduh. Ramai pemberitaan menyoal Piala Dunia U20, dengan “tunggangan” isu baru yang “ngeri-ngeri sedap”.
Padahal jika boleh jujur, mungkin inilah waktu yang tepat bagi Indonesia untuk melalui momentum peralihan menuju Ketum PSSI yang baru. Ada harapan baru buat bangsa ini di saat negara luar melihat kita mulai memiliki tim sepakbola yang punya potensi, punya gigi untuk bersaing di berbagai level ke depannya.
Jika memang mencintai sepakbola Indonesia, bagi para pelaku sepakbola, cintailah bangsa ini sebagai seorang negarawan yang merindukan pencapaian timnas yang lebih baik. InIlah saatnya kita mendukung momen langka ketika kita bisa ikut tampil di ajang piala dunia muda sebagai pondasi mimpi terbesar untuk menyaksikan timnas kita berlaga di piala dunia sesungguhnya.
Tapi, mimpi tanpa terbangun dan mulai bersatu, bekerja mencapai mimpi itu, tak ubahnya hanya seperti mendengar motivator atau pengkotbah tetapi tidak menjalankan apa yang didapat setelahnya.
Harapan bangsa kita juga mau menjadi bangsa yg besar. Andaikan tidak melalui ekonomi, tidak melalui teknologi, atau tidak melalui penegakan hukum, mungkin, mungkin, justru melalui olahraga. Khususnya lewat sepakbola di mana kita bisa lebih dulu memulainya.
“Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia.” Kata-kata Bung Karno yang saya kutip ketika menjadi komentator ketika kita 3 kali menjadi juara AFF U19 di tahun 2013, AFF U16 di tahun 2018, AFF U16 di tahun 2022, dan juga juara AFF U22 di tahun 2019.
Level junior kawasan Asia Tenggara sudah kita guncangkan, mungkin tahun ini tiba saatnya bagi pemuda-pemuda kita di tim U20 maupun tim senior yang akan mengguncangkan dunia.
Bukan hanya melalui prestasi timnasnya, tapi lewat prestasi sebagai penyelenggara acara. Apabila sukses sebagai tuan rumah pun, akan membuat nama bangsa kita membanggakan di seluruh belahan dunia.
Qatar begitu kontroversial sejak penunjukan sebagai tuan rumah. Timnas mereka bahkan gagal di penyisihan grup tanpa meraih satu poin pun. Akan tetapi, penyelenggaraan mereka sukses besar. Keputusan ketika banyak penonton asal Eropa yang tidak mau hadir karena isu pelanggaran HAM terhadap pekerja imigran, tetap menjadi nilai minus.
Meski begitu, dunia tidak memungkiri bahwa mereka berhasil dengan segala infrastruktur yang dibangun, di mana fasilitas hotel terbatas mereka “akali” dengan membuat camp penonton di beberapa titik. Keramahan panitia dan masyarakatnya pantas diacungi jempol. Bahkan, keputusan zero alcohol di seluruh stadion yang dianggap sangat kontroversial, justru menjadi highlight kesukseskan mereka bisa menyelenggarakan piala dunia tanpa perkelahian penonton dan zero criminalism.
Untuk mencapai cita-cita seperti yang saya jabarkan di atas, semoga semua yang berkepentingan dalam hal ini maupun yang mau dianggap berkepentingan, bisa dan mau kembali menyelam ke hati nuraninya yang terdalam. Bukan karena ada embel-embel di belakangnya, bukan karena tujuan tertentu untuk kepentingan diri sendiri di depannya, tetapi hati nuraninya sendiri yang tulus dan tanpa paksaan atau tekanan tertentu.
Mencari yang baik dan pintar tentunya tak sulit di negara ini, termasuk di dalam lingkup pengurus sepakbola. Namun, sangatlah langka mencari individu-individu yang benar dan yang mau berjalan di atas kebenaran, apa pun konsekuensinya.
Kalo saya udah gak baik, gak pinter, dan gak benar, yang bisa saya lakukan hanyalah menyampaikan kegelisahan ini saja untuk para bapak dan ibu yang berwenang.
RVS