Cuma ada tujuh klub yang berhasil menjadi kampiun sejak divisi teratas Liga Inggris berganti baju menjadi Premier League. Leicester adalah salah satunya. Namun, The Foxes menjadi tragedi terakhir dari Premier League.
Kendati memenangi pertandingan terakhir melawan West Ham dan sempat selamat saat Everton belum mencetak gol, Leicester mesti menerima takdir turun divisi. Klub dari East Midlands ini merosot tajam dalam dua musim terakhir.
Hanya tujuh tahun setelah menjadi kampiun liga 2015/16, Si Rubah kudu terlempar dari Premier League. Lesatan sedekade ini diikuti dengan trofi Piala FA dua tahun silam. Kini Leicester mesti kembali ke Championship Division setelah promosi terakhir pada 2014, dua tahun sebelum mengejutkan dengan gelar juara.
BBC mengulik sejumlah kelemahan kunci Leicester pada musim kacau ini yang berujung pada kegegalan bertahan di Premier League. Apa saja?
Pramusim Beda Ambisi
Terdapat sinyal awal saat Leicester menjalani pramusim berupa perbedaan sasaran. Perbedaan itu muncul antara pihak klub dan manajer Brendan Rodgers.
Sejak diboyong pada Februari 2019 yang membuatnya meninggalkan Celtic, Rodgers telah melakukan pekerjaan ciamik untuk Leicester. Ia memberikan Piala FA dua tahun lalu dan Community Shield beberapa bulan kemudian. Torehannya bisa ditambah semifinal Liga Europa Conference musim lalu.
Eks pelatih Liverpool ini dua kali hampir meloloskan Leicester ke Liga Champion. Dua kali peringkat kelima itu diikuti dengan peringkat kedelapan musim lalu ditambah empat besar Liga Europa Conference edisi perdana.
Wajar bila Rodgers menginginkan penyegaran agar The Foxes bisa kembali ke kompetisi Eropa. Sebelum pergi berlibur musim panas, pria Irlandia Utara ini telah menyodorkan nama-nama pemain yang ingin ia lepas pada bursa transfer awal musim kepada pihak klub. Ayoze Perez dan Nampalys Mendy termasuk di dalamnya.
Rodgers juga telah mengadakan pembicaraan dengan pemain yang ingin ia rekrut seperti pemain Chelsea, Levi Colwill. Sang bek malah menjadi pemain pinjaman di Brighton. Hal lain yang mengejutkan Rodgers sekembali dari liburan adalah masih adanya pemain-pemain yang ingin ia jual.
Covid ikut memengaruhi geliat klub. Bisnis pemilik klub, King Power Duty Free, merosot karena mandeknya industri penerbangan. Unit usaha mereka, termasuk Leicester, turut diperketat.
“Tentu saya ingin mengembangkan skuad seperti yang saya katakan tengah tahun lalu. Namun, sulit melakukannya secara finansial. Saya sungguh menghormati klub. Jadi, saya takkan melawan mereka,” ucap Rodgers saat pramusim.
“Memang tidak menguntungkan. Kami mesti melakukan sejumlah hal. Kalau tidak, semoga kami bisa memengaruhi skuad. Bila ingin bersaing seperti sebelumnya, kami mesti memiliki kemampuan untuk itu. Kalau tidak, maka ada perbedaan harapan,” lanjutnya.
Leicester baru bisa membuat penguatan di saat-saat menjelang penutupan bursa transfer. Wout Faes bisa disebut sebagai satu-satunya pembelian penting Foxes. Sang bek tengah digaet dari Rennes dengan transfer 15 juta euro.
Kekacauan Manajemen
Sebelum Piala Dunia, Leicester hanya dua kali menang dari 10 partai. Si Rubah masih bisa nangkring di peringkat ke-12, dengan hanya empat poin dari zona degradasi. Setelah Qatar 2022, Leicester hanya bisa menorehkan empat kemenangan lagi.
Penundaan pemecatan Rodgers disebut berdampak besar. Setelah beberapa saat menyokong sang manajer, pihak klub akhirnya mendepak mantan bos Swansea itu setelah kekalahan 1-2 dari Crystal Palace. Hasil itu membawa Foxes terdampar di zona relegasi.
Namun, Leicester tampak tidak memiliki rencana jelas untuk mendapatkan pelatih pengganti. Saat mencari manajer baru, Rubah dua kali kalah di kandang dengan penanganan pelatih interim, Adam Sadler.
Graham Potter didekati, tapi pelatih yang saat itu baru didepak Chelsea tersebut memutuskan untuk menunggu sampai akhir musim. Jesse March ditawari kontrak tiga tahun, tapi merasa tidak cocok.
Dengan delapan pekan tersisa, barulah Leicester mendapatkan bos baru. Dean Smith ditunjuk bersama eks pelatih Craig Shakespeare dan John Terry. Namun, keputusan itu pada akhirnya tidak cukup untuk menyelamatkan klub.
View this post on Instagram
Kehilangan Schmeichel
Kekeliruan besar Leicester berikutnya adalah keputusan melepaskan Kasper Schmeichel tanpa mencari kepemimpinan pengganti. Sang kiper kapten merupakan pemimpin vokal di dalam maupun luar lapangan.
Setelah 11 tahun dan 479 laga, kiper Denmark itu hanya ditawari perpanjangan kontrak selama setahun. Schmeichel akhirnya memilih untuk menerima ikatan tiga tahun klub Prancis, Riviera.
Setelah empat tahun belajar dari Schmeichel, Danny Ward bisa menorehkan enam clean sheet. Namun, pada akhirnya kiprah goyah membuatnya kemasukan 1,8 gol per laga sehingga digeser Daniel Iversen.
Skor kacamata di Newcastle menjadi clean sheet pertama Foxes sejak November. Total kebobolan mereka 68 gol. Hanya tiga tim yang lebih buruk, yakni Leeds (kemasukan 78 gol), Southampton (73), dan Bournemouth (71).
Turun Termahal dan Potensi Habis
“Leicester akan menjadi skuad termahal, dengan biaya gaji tertinggi, yang terdegradasi dalam sejarah Premier League,” ucap Kieran Maguire, seorang ahli finansial olah raga.
Sejumlah pemain dengan bayaran tinggi tanpa pasal degradasi di dalam kontraknya akan menjadi beban besar buat klub. Menjual pemain, terutama dengan gaji tinggi, akan terpaksa dilakukan Leicester. Repotnya, Foxes tidak dapat berharap pemasukan setinggi sebelumnya.
“Mereka akan mencoba melepas pemain berbiaya tinggi lebih dulu. Nilai jualnya bisa tinggi, tapi tak sebanyak saat masih berada di Premier League. Posisi klub akan lebih lemah saat peminat datang,” ucap Maguire.
Bintang seperti James Maddison dan Harvey Barnes sangat mungkin bakal hengkang dan bisa memberi pemasukan lumayan. Mereka seharusnya bisa mendapat lebih banyak bila bisa melego pemain habis kontrak musim panas ini seperti Youri Tielemans dan Caglar Soyuncu.
Klub East Midlands ini akan harus mencari jalan bagi delapan pemain yang kontraknya kedaluwarsa akhir musim depan. Pemotongan separuh kontrak sesuai klausul degradasi akan membuat banyak pemain memilih pindah.
Hasil penjualan ditambah tunjangan degradasi, parachute payments, bisa mempertebal keuangan. Perubahan struktur gaji Rubah bisa ikut menunjang kesehatan finansial. Saat ini, beban gaji pemain yang dirasakan Leicester adalah 180 juta pound, tertinggi di luar enam besar Prem. Maddison, Jamie Vardy, dan Ricardo Pereira adalah beberapa pemain bergaji lebih dari 100 ribu per pekan.
Klub mencatat pemasukan 214 juta musim ini. Hanya, angka itu diperkirakan akan berkurang sekitar 70 juta karena turun divisi. Keberadaan di Championship Division bisa membuat geliat Foxes lebih lambat lagi perihal pembelian pemain.
Leicester mungkin sukar berharap perubahan drastis ini tidak menggerus performa mereka musim depan. Foxes sepertinya akan butuh waktu untuk kembali ke divisi teratas.