Tentu mudah mengenali kebangkitan Serie A musim ini di kancah Eropa. Namun, sungguhkah Liga Italia sudah lepas dari krisis yang lama menempatkan mereka di bawah liga-liga lain?
Dua klub Italia bertemu di semifinal Liga Champion sehingga bisa memastikan satu tempat di final. Di perempat final, Napoli disingkirkan AC Milan.
Roma memastikan diri tampil di laga puncak Liga Europa. Setahun lalu, I Lupi bersama Jose Mourinho telah meraih Liga Europa Conference. Di kompetisi yang disebutkan terakhir, Fiorentina juga akan berlaga di final musim ini dengan keberhasilan membalikkan ketertinggalan di kandang.
Serie A menikmati musim terbaik mereka setelah sekian tahun menjadi pelengkap penggembira. Sebelum Roma tahun lalu, terakhir kali klub Italia meraih gelar mayor di Eropa adalah Inter Milan di Liga Champion 2009/10. Di Liga Europa, klub Negeri Spageti terakhir yang kampiun adalah Parma pada 1998/99.
Sebagai catatan, Serie A bisa dibilang merajai kancah Eropa pada era akhir 1980-an hingga akhir 1990-an. Kilap musim ini mungkin mengembalikan kenangan indah tersebut.
Dengan kehadiran Liga Europa Conference, Italia menjadi negara pertama yang menempatkan wakil-wakilnya di tiga kompetisi besar. Keberhasilan ini seperti menandakan kembalinya kejayaan Serie A. Namun, bisa jadi markah ini hanya sekejap saja muncul.
Selama dua dekade terakhir, Serie A remuk melebihi liga-liga top Eropa lainnya. Kesehatan keuangan yang buruk, bahkan sebelum Covid, menjadi penyebabnya.
“Dalam 20 tahun terakhir, hampir semuanya melewati kami. Serie A telah menjadi Serie B Eropa,” ucap Presiden AC Milan, Paolo Scaroni, tahun lalu dikutip Goal.
“Terdapat krisis berkepanjangan pada tingkat persaingan di kompetisi Eropa karena kesalahan manajemen dan lemahnya strategi jangka panjang,” tutur Scaroni, jurnalis La Gazzetta dello Sport dikutip Goal.
Pemasukan klub dari hak siar televisi habis terserap ke biaya harian, gaji, dan transfer. Di sisi lain, tak ada investasi dalam infrastruktur, promosi, atau pemasaran yang dibutuhkan.
“Kami memiliki stadion-stadion terjelek di Eropa. Ini menurunkan pemasukan dan hak siar,” sebut eks wakil presiden Milan, Adriano Galliani. Aturan baru pada 2013 dibuat untuk memudahkan pembangunan stadion Namun, “Birokrasi menahan niat klub membangun stadion,” lanjut Galliani, kini CEO Monza.
Hanya klub-klub yang itu-itu saja yang menjadi andalan untuk mengangkat Serie A. Akan tetapi, Serie A tidak bisa menahan krisis, termasuk anjloknya reputasi.
Sebagai gambaran, pada musim terakhir sebelum terpaan Covid-19, 2018/19, Serie A merugi 300 juta euro. Padahal, liga meraih pemasukan 700 juta euro. Akumulasi utang menjadi 2,5 miliar euro.
Keharusan memangkas biaya membuat klub-klub besar melepas bintang-bintangnya. Dalam jendela transfer 2021, Serie A kehilangan Cristiano Ronaldo, Romelu Lukaku, Gianluigi Donnarumma, dan Achraf Hakimi. Tahun lalu, Lorenzo Insigne dan Federico Bernardeschi lebih memilih pindah ke Liga AS, MLS.
Sepak bola Italia masih digerogoti kepicikan dan perselisihan kecil. Ikatan hak siar televisi internasional mereka cenderung merosot daripada menanjak, bahkan saat Ronaldo masih berseragam Juventus.
Rencana jangka panjang masih menjadi kekurangan Serie A dibandingkan liga-liga lain. “Yang dibutuhkan adalah visi ke masa depan, untuk lima hingga delapan tahun. Kami mesti memperbaiki standar keunggulan. Kekurangan ini tidak disadari walau ada di depan hidung,” ujar Luca Gotti, eks pelatih Udinese dan Spezia.
Perihal jangka panjang ini masih memunculkan keraguan. “Saya enggak ingin pesimistis. Namun, saya belum melihat solusi yang muncul,” kata Gianluigi Longari dari Sportitalia TV kepada Goal.
Untuk jangka pendek, asa besar meraih trofi kompetisi antarklub Eropa disandangkan di bahu tiga klub Italia finalis. Akan tetapi, lawan-lawan mereka di partai puncak nanti bukan tim lemah. Bisa-bisa, dengan krisis yang belum sepenuhnya hilang dari sepak bola Italia, ketiga hanya bisa menjadi sekadar finalis.
View this post on Instagram